[Journal] Life Judgemental

Dulu. Saat dulu sekali, aku pernah memandang orang dengan pandangan jijik saat mereka—yang dikatakan ‘sampah masyarakat’ berada di sekitar aku. Tak segan aku ikut menggunjing mereka, atau sekedar mengatakan keberatan atau menyampaikan kata-kata yang bahkan mungkin akan menyakiti mereka.

Meski terkadang kita tak mengerti mereka. Tanpa paham dari apa sebenarnya alasan mereka melakukan hal tersebut, atau mungkin penyebab hingga mereka disebut sebagai ‘sampah masyarakat’.

Itu dulu. Dulu sekali, sebelum apa yang selama ini aku gunjingkan, apa yang selama ini aku tatap sebelah mata—terjadi di depan mataku. Di dalam hidupku.

Butuh beribu waktu dimana aku sendiri termangu untuk memikirkan sejuta penyebab mengapa semua terjadi padaku. Mengapa Tuhan harus memberikan cobaan terberatnya kala itu.

Aku ingat saat mata mereka memandang kami rendah. Saat dengan jelas mereka menggunjing di depan mata kami seakan kami memang “sampah masyarakat”. Kami mendapatkan seluruh perlakuan buruk—yang secara tak sadar kami sering lakukan dahulu.

Mereka hanya tak tahu. Mereka mencoba tak peduli. Mereka seakan menutup telinga mereka atas sebuah fakta yang seharusnya kami sampaikan. Singkat kata, kami adalah “sampah masyarakat”.

Semua terasa begitu berat. Hingga tiap napas juga langkah kami ambil bersama terasa begitu berat. Punggung kami terasa mati rasa untuk memikul rasa malu yang bahkan tak bisa kalian bayangkan. Kami menutup rapat-rapat pintu. Memberikan jarak yang begitu nyata pada semua. Menutup rapat-rapat sebuah rahasia besar yang mungkin meski dibuka pun, mereka tak pernah bisa mengerti.

Semua berjalan begitu lambat. Semua bahkan terasa begitu berat, namun perlahan tapi pasti kami mulai mati rasa. Hingga rasa malu sudah tak lagi kami rasakan, hingga rasa sedih yang kami rasakan seakan sebagai sebuah symphony pengiring langkah. Hingga kami tak merasa yang selama ini kami rasakan adalah rasa sedih yang dahulu membuat kami terbangun di tengah malam dengan tangis masih membekas di kedua mata kami. Yang mambuat kami ingin selalu terbangun dari mimpi terburuk kami, meski setengah dari diri kami sadar kami bahkan tak pernah bisa terbangun.

Dan kini, setidaknya satu di antara doa kami setidaknya terkabul. Sedikit dari beban yang kami pikul bersama hilang bersama doa yang kami panjatkan juga langkah yang kami ambil hati-hati sekali.

Senang? Tentu saja. Namun kami masih belum sampai. Masih banyak jalan setapak yang harus kami lalui. Masih banyak samudera yang bahkan belum kami seberangi. Masih belum cukup. Masih belum cukup untuk membuat mereka memandang kami dengan mulut menganga atas pencapaian yang kami telah dapatkan.

Hidup layaknya sebuah roda yang berputar, ada kalanya hidup berada di atas dan terkadang hidup membuat kita berada pada posisi terbawah. Itu yang terjadi pada keluargaku saat ini. Mungkin sebagian tak sependapat demgan apa yang kuanut. Bahkan sebagian dari mereka berpendapat bahwa untuk hidup kita selalu berusaha untuk berada di atas. Namun untukku, untuk berada di atas, kita perlu berada di bawah terlebih dahulu.

Dengan apa yang telah terjadi kami tak pernah menyalahkan siapapun atau bahkan keadaan. Mungkin Tuhan sendiri memiliki rencana yang luar biasa indah di balik ini semua. Jadi untuk saat ini, kami tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Tuhan dan banyak terima kasih untuk sekeliling kami yang selalu memberikan dukungan.

Jika kamu tengah membaca ini, memang benar-benar terjadi padaku dan aku tengah tersenyum lebar atas anugerah Tuhan berikan kepada kami. Dan untuk kalian yang masih memandang kami atau siapapun yang juga merasakan hal yang sama, dengan sebelah mata;

Ingat, karma does exist. And it happened to me. And for you guys who are having hard times, never give up! Everything will be okay.

January, 17 2018.

03:53

Anonymous.


Leave a comment